Tuesday, March 9, 2021

Keterlibatan Pendeta Dalam Politik





 
URGENSI KETERLIBATAN PENDETA DALAM POLITIK PRAKTIS

Markus Amid
Sekolah Tinggi Teologi Injili Arastamar (SETIA) Ngabang
markusamid@yahoo.com


Abstract

This study aims to obtain and find data, research facts and their validity from the involvement of pastors in practical politics. Contribution to ethical leadership knowledge based on Christian values. The social activities carried out by pastors, be it in the scope of education, culture, economy to politics by a few people are interpreted as an effort to serve and as part of the lifestyle inherent in believers because the Bible of Matthew mentions the terms salt and light of the world. The functionality of salt and light to illuminate and exert constructive influence is a necessity in the midst of a deadlock in government and its derivative institutions. Therefore, pastors are not only focused on serving the congregation but also need to serve in government, including in the political field. The method used in this research is a qualitative method with a literature study approach or literature study. The result of this research is that pastors need to be involved in practical politics in order to become salt and light in their place of service. So, the more loyal pastors are in bringing light to the world, there will be great trust from the public towards politicians and even prospective Christian leaders who will wrestle in politics today.


Keywords: the urgency of; engagement; pastor; politics; practical



Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memeroleh dan menemukan data, fakta riset dan keabsahannya dari keterlibatan pendeta dalam politik praktis. Kontribusi dalam pengetahuan kepemimpinan etis berdasarkan nilai-nilai kekristenan. Aktivitas sosial yang dilakukan oleh pendeta, baik itu pada cakupan pendidikan, budaya, ekonomi hingga kepada politik oleh segelintir orang dimaknai sebagai upaya melayani dan sebagai bagian dari gaya hidup yang melekat dalam diri orang percaya oleh karena Kitab Injil Matius menyebut istilah garam dan terang dunia. Fungsionalitas garam dan terang dapat menerangi dan memberikan pengaruh konstruktif merupakan kebutuhan di tengah-tengah kebuntuan dalam pemerintahan dan lembaga turunannya. Karena itu, pendeta tidak hanya fokus untuk melayani jemaat tetapi juga perlu melakukan pelayanan di pemerintahan termasuk di bidang politik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi literatur atau studi kepustakaan. Hasil penelitian ini adalah pendeta perlu melibatkan diri dalam politik praktis supaya menjadi garam dan terang di tempat pengabdiannya. Jadi, pendeta semakin setia dalam membawa terang bagi dunia, maka akan ada kepercayaan besar dari masyarakat terhadap para politikus bahkan calon pemimpin Kristen yang akan bergelut di bidang politik pada masa kini.


Kata Kunci: urgensi; keterlibatan; pendeta; politik; praktis


PENDAHULUAN

Penelitian ini bertujuan untuk memeroleh dan menemukan data dari keterlibatan hamba Tuhan dalam politik praktis. Kontribusi dalam pengetahuan kepemimpinan etis berdasarkan nilai-nilai kekristenan. Meminjam perkataan Dewey, fungsi pengetahuan adalah membuat pengalaman seseorang bisa dijangkau pengalaman orang lain.1

Aktivitas sosial yang dilakukan oleh pendeta, baik itu pada cakupan pendidikan, budaya, ekonomi hingga kepada politik oleh segelintir orang dimaknai sebagai upaya melayani dan sebagai bagian dari gaya hidup yang melekat dalam diri orang percaya. Kehidupan pendeta kerap dibaca sebatas melayani umat Tuhan dan tidak perlu terlibat dalam kehidupan politik praktis. Penulis Injil Matius menyebut istilah garam dan terang dunia. Fungsionalitas garam dan terang atau secara simplis menerangi dan memberikan pengaruh konstruktif merupakan kebutuhan di tengah-tengah kebuntuan dalam pemerintahan dan lembaga turunannya. Pendeta mestinya fokus hanya kepada umat dan pelayanan semata.

Kesenjangan dalam diri pendeta dapat dipahami sebagai penolakannya terhadap keterlibatan politik praktis, sehingga kesenjangan itu tentunya berimplikasi kepada seseorang itu harus hidup. Apakah tepat untuk berpolitik praktis atau lebih baik membina spiritualitas umat saja. Sebab bagi mereka, politik itu sekular bahkan menafikan nilai-nilai yang bersifat teisme.

Politik liberal merupakan bagian dari cara hidup dengan mengabaikan kaidah-kaidah seperti yang Tuhan kehendaki. Sekularisasi di era posmo ini membawa dampak kepada masyarakat luas terutama orang percaya. Sebab entitas sosial yang menghendaki adanya perubahan hidup dan isi kehidupan sosial banyak berbenturan dengan kebijakan pemerintah yang semata-mata populis bahkan jauh dari kepentingan memihak rakyat. Pendeta sebagai wakil Tuhan sebaiknya tidak terlibat dalam dunia politik.

Dimensi politik praktis sebagai upaya individu untuk terlibat di dalamnya tidak lain sebagai perwujudan dari ilmu pengetahuan yang berorientasi kepada masyarakat. Kata ilmu pengetahuan dalam bahasa aslinya memakai istilah episteme. Kata ini berlawanan dengan doxa yang bermakna pendapat. Kedua kata ini bila dikaji lebih jauh bermuara kepada satu hal utama, yakni kebenaran. Kebenaran tentang metode yang dipakai dan kebenaran tentang relasi kepada Allah sesungguhnya. Bagaimana kedua entitas ini dapat terjalin kendati sifat dan hakikatnya sangat berbeda.

Epistemologi sebagai bagian dari filsafat mencoba memahami bagaimana ilmu tersebut dapat mengenal kebenaran ilmunya melalui suatu pendekatan ilmiah tertentu. Sedangkan doxology sebagai upaya individu untuk memuliakan Tuhan melalui segenap hidupnya dilihat dalam kerangka ibadah (devosi) dan pengagungan-Nya kepada Sang Pencipta kekal. Kedua aspek ini dalam diri individu yang terlibat dalam politik praktis masyaratkan bahwa dirinya mempunyai sisi pribadi yang luhur dan bermartabat.

Dunia memuat isu sentral secara dasariah bahwa tindakan kita menentukan identitas kita, sehingga aktivitas seseorang dapat berkembang menjadi upaya untuk memaksimumkan kebahagiaan sembari itu mengurangi ketidakbahagiaan tersebut. Aktifis dalam bidang tertentu, sebut saja seorang politikus. Sebagai individu, maka yang bersangkutan sedang berupaya agar hidupnya maksimal dan proses untuk maksimal tersebut kerap kali mengabaikan bahkan mengingkari aturan moralnya. Pegangan normatif sebagai wakil rakyat dilihat hanya sebatas


1 Joe L. Kinchelo, Guru Sebagai Peneliti (Yogyakarta: IRCiSoD, 2014), 166


prestise sosial karena kedudukannya membanggakan dan tidak diletakkan pada panggilan untuk melayani konstituennya. Namun ada juga segelintir individu yang tetap memperhatikan pegangan normatifnya sesuai dengan janjinya ketika ia dilantik menjadi anggota dewan perwakilan rakyat.

Dunia politik sebagai sarana untuk memajukan rakyat banyak oleh sebagian politikus sering dilihat bukan lagi sebagaimana harusnya seseorang itu bersikap dalam isu-isu aktual di masyarakat yang berhadapan dengan berbagai kebijakan pemerintah setempat melainkan lebih menekankan kepada bagaimana ia memanfaatkan berbagai isu tersebut untuk kepentingan dirinya dan partai pengusungnya. Hal ini tentu berakibat kepada pemahaman akan politik berikut dirinya berdampak kepada kaum kebanyakan. Dalam perspektif kaum awam bukanlah sosok ini bukan sebuah teladan untuk membawa masyarakat kepada hidup yang lebih baik.

Sementara itu, pendeta yang dipanggil untuk melayani dan membina umat Allah, tidak bebas dari mengalami dinamika ketegangan antara taat kepada Allah dan bagaimana menjadi warga Negara yang baik. Pemerintah sebagai hamba Allah dan ditetapkan oleh-Nya, secara fungsional diberi mandat untuk menjaga dan melindungi masyarakat (termasuk umat Allah sebagai bagian dari masyarakat luas) dan diberi kewenangan untuk menghukum yang melanggar aturan normatif sosial (bdk Rm. 13 tentang pemerintah). Sasarannya adalah agar masyarakat luas dapat menikmati kebahagiaan tersebut. Pendeta bersama gereja adalah salah satu entitas organis yang dihisapkan ke dalam masyarakat dunia agar mereka yang masih jauh dari iman kepada Kristus dapat mengenal kekayaan dan kemuliaan Kristus yang telah memberikan hidupnya secara utuh kepada dunia ini. Sehingga transformasi individu dapat meluas kepada keluarga hingga kepada komunitas yang lebih luas.

Alkitab terus-menerus mengingatkan setiap orang tentang keberdosaan dan kerapuhan manusia. Artikulasi bagian ini ialah setiap individu termasuk pendeta dan jemaat membutuhkan belas kasihan Allah. Deskripsi tentang umat Allah diumpamakan sebagai kawanan domba di tengah-tengah serigala mencerminkan perlunya pendeta untuk memiliki dan terus tinggal dalam perlindungan Tuhan setiap saat. Sebab tidak seorangpun dapat menolong dirinya sendiri. Setiap orang membutuhkan bantuan dari komunitas orang percaya lainnya selain karena pertolongan Tuhan secara khusus.

Pandangan Max Weber yang dikutip oleh Poespowardojo dan Seran bahwa dunia sosial sebagai disenchantment to world yang artinya ilmu pengetahuan yang memahami realitas sosial melalui proses objektivasi terhadap dunia pengalaman dengan tujuan mampu menjelaskan berbagai hubungan kausal menurut pengamatan didasarkan kepada pengalaman keterlibatanya.2 Setiap individu yang terlibat dapat mengalami depersonalisasi manusia yang seharusnya ia menjadi subyek akan menjadi objek politik dan kepentingan.

Aspek politik dalam kehidupan seorang pendeta yang terlibat di dalamnya secara praktik juga dapat dikenali dari sisi moralitas. Kata moral sebagai dasar bagi varian kata yang berhubungan dengan tindakan atau motif seseorang mencerminkan adanya latar belakang untuk meraih tujuan tertentu. Seseorang pendeta saat melakukan tindakanya apakah itu benar atau keliru, maka yang patut baginya bukanlah mengena kepada dirinya tetapi bagi maksud dan tujuan di dalam tindakannya. Pendeta yang terlibat dalam kehidupan politik secara aktual, bisa


2 T.M. Soerjanto Poespowardojo & Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2015), 124


saja mengalami hal-hal yang tidak dapat mereka cegah atau tidak bisa mereka lakukan. Hal ini tentunya berimplikasi kepada tidak ada jaminan bahwa ia akan melakukan kehidupan politik dan pelayanan-nya dengan baik. Sebab politik merupakan kepentingan dan pengaruh karena kekuasaan hadir dalam dirinya. Kekuasaan mesti dikelola dengan bijaksana.

Namun demikian, sebagai seorang pendeta yang terlibat di dalam berpolitik harus bertumbuh secara rohani dan memiliki intelektual hingga merepresentasikan bahwa dirinya merupakan bagian dari kehidupan konstituennya dan berpihak kepada diri mereka, terutama berjuang untuk kemaslahatan mereka. Disadari pula sebagai politikus, ia juga mesti memelihara hubunganya dengan mereka yang mempercayakan dirinya sebagai wakil yang didudukan di kursi dewan melalui upaya menjalin tali rasa dan silaturahmi secara otentik. Agar masyarakat dapat melihat bahwa di dalam dirinya ada hal-hal yang dapat diharapkan untuk kemajuan isi dan kualitas hidup masyarakat ditilik dari produktifitasnya, keberpihakanya kepada keadilan dan kebenaran hingga kepada perjuangannya untuk berbagai isu-isu yang relevan di tengah masyarakat yang mungkin saja terabaikan selama ini..

Keterlibatan dalam politik praktis secara logika murni bertautan dengan idealisme individu tersebut. Pemikiran idealisme seorang pendeta terjun ke dalam politik praktis merefleksikan kemampuan dirinya, terutama untuk memahami konsep politik dan isu-isu yang berkembang dan bagaimana ia mampu menangkap kebenaran politik dalam pengalaman empirisnya. Ia sebagai representasi masyarakat dituntut untuk mengenal fakta dan fenomena melalui kesadaran dirinya sebagai subjek. Dalam khasanah inilah, ada kemungkinan seorang pendeta dapat mengalami distorsi karena telah menjadikan dirinya sebagai objek dalam berpolitik. Ketika hal ini terjadi, ia membutuhkan justifikasi terhadap problematika fakta sosial yang dihadapi. Pada tataran persepsi dan interpretasi, ia membutuhkan perspektif bagaimana ia harus bertindak. Diperlukan kualitas diri yang mumpuni, matang dan berwawasan luas untuk menjawab berbagai kemungkinan adanya distortif pemahaman terhadap realitas tersebut. Realitas politik dan dinamika perkembangannya di tengah masyarakat, pemerintah dan partainya sendiri.

Pada tataran ini, pendeta sebagai wakil Tuhan yang melayani rakyat dituntut untuk membangun dirinya agar selalu dapat dikritisi dan dibarui demi kemaslahatan masyarakat, baik itu menyatakan keadilan, kebebasan maupun kepada kesamaan hak asasi manusia. Entitas dirinya sebagai representasi masyarakat dapat dievaluasi baik karena pengaruh kehadiranya dan tujuan yang hendak dicapainya. Seumpama permata, akankah ia akan berkilau atau pudar akan ditentukan oleh kemampuannya memahami aspirasi masyarakat dan berjuang untuk mengupayakan terjadinya perubahan hidup masyarakat berdasarkan kepada nilai-nilai utama. Perlunya sebuah determinasi diri yang konsisten agar pengaruhnya kelak membawa perubahan signifikan bagi umat Allah dan masyarakat luas.

Konsistensi dirinya sebagai hamba Tuhan di dunia politik ditunjukan dengan kemampuanya untuk transparan. Sebab dapat digarisbawahi, karakter yang menopang hidupnya untuk berjuang di dunia politik dapat terlihat konsisten karena ia terbuka untuk dievaluasi, dikritisi hingga ditegur. James Bryan Smith menyebutkan, orang-orang yang lebih transparan akan lebih sanggup mencapai tujuannya3.

Sistem politik di Indonesia berlandaskan kepada Pancasila dan UUD 1945 dihadirkan dalam multi partai dan keterwakilanya di DPR sebagai pengejawantahan dari butir ke-empat


3 James Bryan Smith, The Good and Beautiful Community (Surabaya: Literatur Perkantas JaTim, 2014), 206


Pancasila. Tentunya berpijak dari keyakinan akan Tuhan Yang Maha Esa sebagai landasan teologis. Dan landasan etisnya adalah menuju kepada kemanusiaan yang adil dan beradab (bermartabat). Sementara untuk mengikat atau menjadi ikatan dalam kebangsaan yang binneka adalah persatuan Indonesia. Dengan demikian akan terujud kiranya cita-cita kemerdekaan itu yakni: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui keterwakilan anggota dewan/politikus di lembaga dewan perwakilan rakyat.

Deskripsi berkenaan tugas pokok dan fungsi sebagai wakil rakyat di domain politik yang diemban oleh seorang Pendeta tentunya sangat strategis dan bernilai praktis karena ia hadir sebagai wakil Allah dan juga mewakili rakyat untuk kepentingan yang lebih luas tersebut. Sehingga esensi tugasnya akankah bersifat etis filosofis atau karena tuntutan etis yang otoritatif. Diperlukan analisis politik yang berakar kepada pesan-pesan Kristus kepada murid-murid-Nya dan secara rasional bagaimana ia hadir menyuarakan hak-hak alami masyarakat. Dengan itu diharapkan akan lahir formasi kebijakan publik dan implikasinya bagi kesejahteran masyarakat luas sesuai falsafah hidup Pancasila dan UUD 1945.

Dengan melihat kepada beberapa latar belakang persoalan aktual ini, pemahaman (verstehen) mengenai keterlibatan seorang pendeta memasuki dunia politik praktis, perlu kiranya dengan melihat berbagai kemungkinan dirinya sebagai sosok yang mempunyai kemampuan handal dalam menganalisis dan memecahkan masalah sosial dan politik dan kesanggupannya memberikan pandangannya secara jujur dan ilmiah namun juga secara proporsional. Rasionaliasi individunya sebagai suatu pertanggungjawabannya kepada masyarakat dan juga karena ia merasa dipanggil Tuhan untuk melakukan tindakan nyata. Sehingga terjadi transformasi sosial dan spiritual.

Uraian ini mencerminkan akan upaya individu bersangkutan dalam memahami realitas di konstelasi politik, para konstituen hingga kepada organisasi politik tempatnya berkecimpung. Tissen, Andriessen dan Deprez menyebutkan, individu ini seyogianya memiliki enersi yang cukup untuk terus bergerak maju secara berkesinambungan sehingga faktor internal dalam dirinya dan faktor eksternal di luar dirinya mampu dilebarorasi ke dalam performance individu. Yakni pandangan, tanggungjawabnya hingga kepada strateginya.4 Untuk kepentingan inilah, penulis mengupayakan penelitian ini dengan mendalami berbagai fenomena yang ada dan menggambarkan lebih jelas makna keterlibatan pendeta dalam politik praktis.


METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif5 dengan pendekatan studi literatur6 atau studi kepustakaan.7 Djam’an Satori dan Aan Komariah dikutip oleh Mau menjelaskan bahwa penelitian kualitatif ialah suatu pendekatan penelitian yang mengungkapkan situasi sosial tertentu dengan mendiskripsikan kenyataan secara benar, dibentuk


4 Rene Tissen, Daniel Andriessen & Frank Lekanne Deprez, The Knowledge Dividend (London: Prentice Hall, 2000), 106

5 Yulius Enisman Harefa, Studi Analisis Alkitab dalam Menyikapi Biblical Cristicism, Jurnal BMW-GO; Vol. 2, No. 1, Juli-Desember 2017: 3; ISSN 2579-5678. Bandingkan Tolop Oloan Marbun, Theology As Science; Jurnal

Luxnos Volume 3, Nomor 2, Edisi Agustus-Desember 2017:212; ISSN: 2527-7561

6 Simon, Tanggapan Alkitab Terhadap Wacana Hukuman Mati Bagi Pelaku Korupsi, KENOSIS Vol. 6 No.

1. Juni 2020:107

7 Patrecia Hutagalung, “Pemuridan Sebagai Mandat Misi Menurut Matius 28:18-20,” Pengarah: Jurnal

Teologi Kristen ISSN 2655-2019 (online) Volume 2, Nomor 1, Februari 2020 ISSN 2654-931X (cetak)


oleh kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan data dan analisis data yang relevan diperoleh dari situasi yang alamiah.8 Sedangkan studi literatur/kepustakaan ialah metode penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber yang diperlukan penulis. Peneliti memfokuskan atau memusatkan pada penelitian kepustakaan yang sasarannya pada dokumen-dokumen yang bertalian erat dengan judul pembahasan.9


HASIL DAN PEMBAHASAN

Politik Praktis dan Pendeta

Definisi Politik

Secara sederhana politik didefinisikan sebagai usaha menggapai kehidupan yang lebih baik.10 Definisi ini dilatarberlakangi oleh karena sejak dahulu kala masyarakat sering menghadapi terbatasnya sumber alam, sehingga dari masyarakat itu ada orang-orang yang dipercaya oleh masyarakat untuk mengatur sumber daya alam bagi masyarakat agar masyarakat merasa bahagia dan puas.11 Menurut Miriam Budiardjo pengaturan seperti itu disebut politik.12 Definisi yang lain menunjukkan bahwa politik adalah usaha untuk menentukan peraturan- peraturan yang dapat diterima oleh masyarakat untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis.13

Menurut Ramlan Surbakti, ada sekurang-kurangnya lima pandangan mengenai politik yaitu: Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik ialah segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik ialah kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik ialah cara-cara menghindari konflik untuk mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting. 14

Menurut Eka Darmaputra dalam Mian Nugroho Agung dan Jeffrie A.A bahwa, “Mengapa orang Kristen harus melibatkan diri dalam politik? Jawabannya amat sederhana: Karena tidak ada pilihan lain. Memilih untuk bersikap tidak mau tahu soal politik alias apolitik pun adalah pilihan politis. Ada yang mengatakan bahwa keterlibatan politik bukan hanya merupakan sebuah keharusan praktis (karena tidak terhindarkan), melainkan juga sebuah keharusan teologis, sebuah wujud dari ketaatan iman.”15







8 Marthen Mau, Implikasi Teologis Berita Pertobatan Yoel dalam Yoel 2:12-17; MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen, Vol 1, No 2 (Juni 2020):98-111; e-ISSN 2716-0556; p-ISSN 2502-2156; http://sttikat.ac.id/e-journal/index.php/magnumopus

9 Mau, Implikasi Teologis Berita Pertobatan Yoel dalam Yoel 2:12-17, 98-111

10 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 13

11 Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 13-14

12 Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 14

13 Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 15

14 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 2007), 1-2

15 Mian Nugroho Agung dan Jeffrie A.A. Lempas (Editors), Yesus dan Politik (Jakarta:Komunitas NISITA, 2004), xiii


Definisi Pendeta

Pendeta adalah istilah yang tidak ditemukan di dalam Alkitab. Istilah ini muncul di dalam kekristenan dan dipakai di Indonesia secara umum di dalam Gereja-Gereja Protestan untuk menyebut pejabat gereja yang di dalam Alkitab pejabat-pejabat itu disebut sebagai rasul-rasul, nabi-nabi, pemberita-pemberita Injil, dan gembala-pengajar (bdk. Ef. 4:11). Para pejabat ini disebut pendeta, melalui proses kontekstualisasi Alkitab.

Proses kontekstualisasi Alkitab ini dilakukan untuk menghindari bahaya sinkritisme yang bertentangan dengan Alkitab. Menurut Paskalinus Busthan dalam Teologi Kontekstualisasi proses tersebut disebut sebagai proses dan sistem pembentukkan Teologi Kristen dengan cara bentuk diterima, makna diubah,16 yang artinya istilah Pendeta diterima (bentuknya), namun makna pendeta diubah menjadi sama dengan makna rasul, atau nabi atau gembala seperti yang terdapat di dalam Alkitab.


Landasan Alkitab tentang keterlibatan Pendeta dalam Politik Praktis

Dasar Alkitab bagi signifikansi keterlibatan Pendeta dalam Politik Praktis memiliki dasar teologi yang sangat kuat di dalam Alkitab. Dalam konteks Alkitab para pendeta disamakan dengan para imam dan nabi dalam zaman Perjanjian Lama (PL) dan para rasul dan para penatua dalam zaman Perjanjian Baru (PB).

Para nabi, imam, rasul dan penatua dalam Alkitab juga terlibat dengan masalah politik praktis pada zaman pelayanan mereka.   Sebut saja seperti Musa   yang hidup di Kota Mesir, yang sekalipun di besarkan di dalam istana Firaun, namun Musa juga memikirkan bagaimana menolong umat Israel dari penindasan yang dilakukan oleh Faraun. Dalam konteks ini, Musa melalukan upaya pertolongan untuk memberbaskan umat Israel dari penindasan yang dilakukan oleh Faraun.

Apabila dihubungkan dengan definisi politik praktis yang disebutkan di atas maka, maka apa yang dilakukan oleh Musa pada zamannya di Mesir adalah sebuah upaya melakukan kegiatan politik praktis bagi umat Israel, yang tujuan utamanya ialah untuk membebaskan umat Israel dari penindasan. Salah satu kegiatan politik praktis yang dilakukan oleh politikus Kristen ialah membebaskan warga jemaat dan masyarakat pada umumnya dari penindasan yang dilakukan oleh siapa saja, termasuk kalau itu dilakukan oleh pemerintah atau penguasa dalam pemerintahan. Dalam zaman Yesus Kristus ketika menolong manusia yang sakit, mengajar manusia untuk hidup bahagia (bdk. Mat. 5-7). Sebab inti dari politik adalah mencipta kebahagiaan untuk masyarakat. Dan itu dilakukan oleh Yesus.

Dalam zaman raja Salomo, Salomo melakukan kerjasama dengan raja-raja dari negara yang lain, agar secara politik kerajaan Israel mendapatkan Damai Sejahterat. Dan ini sangat terbukti di dalam Alkitab. Selama kepemimpinan Salomo selama 40 tahun (bdk. 1 Raj. 11:42), tidak pernah dilaporkan bahwa terjadi peperangan Israel dengan bangsa-bangsa yang lain dan kekurangan makanan pada Israel. Selama kepemimpinan Salomo 40 tahun, Israel mengalami masa kedamaian yang luar biasa. Bahkan Salomo berkuasa dari sungai   Efrat sampai negeri orang Filistin dan sampai ke tapal batas Mesir (bdk 1 Raj. 4:21, 24). Berkuasanya Salomo dari sungai Efrat sampai ke tapal batas Mesir adalah penggenapan perjanjian Tuhan kepada Abram dalam Kejadian 15:18-21. Secara politik Salomo memiliki kemampuan politis yang luar bisa.


16 Paskalinus Busthan, Teologi Kontekstual Asia (Pontianak: STT Pontianak, 2016), 25


Yang harus diakui bahwa ini berasal dari hikmat yang Tuhan berikan kepada-nya. Dalam konteks itu, ratu Syeba sudah membuktikan hikmat Salomo dengan cara berkunjung ke Yerusalem untuk melihat dari dekat hikmat Salomo (1 Raj. 10:1-13).

Jadi dalam konteks Alkitab, belajar dari hal-hal yang disebutkan di atas, maka keterlibatan para pendeta dalam politik praktis sebenarnya tidak ada pelarangan. Yang dilarang oleh Alkitab adalah melakukan dosa. Jadi para pendeta boleh melayani di mana saja dan dalam bentuk apa saja, asalkan sesuai dengan rambu-rambu Alkitab.


Politik dan Visi Perubahan

Perubahan dalam masyarakat melalui berbagai tindakan politik oleh individu dan partai politik sebagai payung dalam perjuangan, mencerminkan adanya upaya nyata agar keadilan bagi yang tertindas, terlupakan bahkan terabaikan menjadi keniscayaan. Relasi sosial dengan yang politis bukan semata-mata memperhatikan individunya. Lebih jauh fokus dan kajian tindakan adalah pengenalan akan struktur yang ada di tengah masyarakat. Dalam khasanah ini, telaah mengenai anggota Dewan Perwakilan Rakyat menemukan ruangnya.

Seperti diketahui DPR merupakan rumah yang nyaman bagi aspirasi rakyat. Rakyat membutuhkan ruang aktualisasi diri dan anggota dewan ini merupakan perpanjangan tangan rakyat. Ia merupakan wakil dari konstituen itu. Atas dasar inilah DPR diharapkan mampu memainkan perannya secara maksimal bagi kepentingan rakyat.17 Upaya ini dapat dilakukan dengan memperluas cakrawala sebagai anggota dewan, yang merepresentasikan kepentingan rakyatnya.

Terminologi cakrawala atau horison ini mendapat perhatian dari Bernard Lonergan sebagai seorang teolog, ia hendak memastikan perluasan horison atas kenyataan sosial yang ada bukan semata urusan logika. Lebih jauh, upaya reorganisasi subjek yaitu pengaturan kembali gaya hidupnya, perasaan, pikiran, pertimbangan, hasrat, ketakutannya, kehendaknya, pilihannya, perubahan asumsi-asumsi dasar18 sangat diperlukan. Agar pembentukan masyarakat baru yang sejahtera dan adil dapat dicapai. Hal ini dimulai dari diri si pembuat perubahan sosial. Sebab kenyataan sosial seperti pokok-pokok kesejahteraan penduduk berkutat di sekitar pendapatan dan akses ekonomi.19

John Stott mencatat ada beberapa entitas dari tindakan politik yang krusial di abad 21 ini, yaitu: (1) Fokus kepada struktur yang membelenggu masyarakat; (2) mereformasi sistem kelembagaan di masyarakat agar lebih efektif; (3) penekanan penting kepada peran yang lebih partisipatif dari masyarakat agar dapat dibebaskan dari kemiskinan; (4) mengubah sistem ekonomi masyarakat yang berhadapan dengan sistem pasar yang cendrung kapitalis dan hegemoni; (5) keberpihakan kepada mereka yang terbelenggu dari kemiskinan dan penindasan melalui reformasi sistem politik.20 Cakupan tindakan aktif dalam politik praktis sedemikian luasnya dan tentunya ada ruang yang besar berupa menggunakan kesempatan untuk melakukan perubahan.




17 A. Bakir Ihsan, Etika dan Logika Berpolitik (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), 51

18 Silvester Ule, Melakukan Teologi Di Abad Plural (Maumere-NTT: Penerbit Ledalero, 2015), 88 19 Mita Noveria (ed), Pertumbuhan Penduduk dan Kesejahteraan (Jakarta: LIPI Press, 2011), 17 20 John Stott, Isu-isu Global (Jakarta: YKBK/OMF, 2015), 31


Pengaruh modernitas tidak dapat dipungkiri telah menjadikan peradaban di suatu komunitas lokal juga mengalami perubahan esensial. Seperti disinggung oleh Shenk, kekuatan modernitas ternyata mengena kepada penataan ulang masyarakat tradisional, hal mana terlihat dari sektor dukungan dan pengawasan atas masyarakat mengalami shock secara budaya.21 Dampak dari modernitas adalah terwujudnya anomali secara sosiologis. Pementingan individu merenggangkan kohesi sosial budaya. Identitas individu menjadi penanda utama ketimbang identitas budaya kolektif. Individu merasa lebih baik meraih keberhasilan secara individual ketimbang memberi perhatian kepada kebanyakan orang yang masih membutuhkan perhatian. Mark Labberton menggarisbawahi, dengan kasih karunia dan pengharapan, gereja dan orang percaya secara inheren maupun bersama-sama harus mencari serta mengasihi yang terabaikan, yang tidak terlihat, yang tidak diinginkan, dan yang tidak keren.22 Konkritnya, kesediaan berkontribusi dalam pokok-pokok krusial yang membawa dirinya berpikir keras dan cerdas merespons persoalan tersebut. Agar ia mampu menetapkan realita yang paling beresonansi23 dalam kenyataan sosial itu dan melihat berbagai keterkaitan yang ada melalui berbagai gagasan penangananyang cemerlang.

Kemampuan untuk menjadi individu yang eksistensial dan berpengaruh bagi dirinya dan orang lain hingga menjangkau masyarakat luas, mencerminkan dirinya sebagai rupa Allah untuk membangun sesamanya. Deskripsi sebagai manusia pembangun inilah secara hakiki dikenal dengan “suatu tubuh-jiwa yang memasyarakat.” John Stott menambahkan, jika sungguh-sungguh mengasihi sesama manusia karena mereka berharga dan ingin melayani mereka, tentu kepeduliaan kita itu harus mencakup kesejahteraan mereka secara holistis, yakni kesejahteraan jiwa, kesejahteraan tubuh, dan kesejahteraan sosial mereka.24 Namun dalam kenyataannya, usungan transformatif oleh sosok politikus bukanlah persoalan yang mudah.

Pembangunan politik di Indonesia berkaitan dengan pembangunan ekonomi. Isu-isu yang berkenaan dengan masyarakat dan kesejahteraan tidak dapat dilepaskan dari domain politik. Oleh karena mengena kepada anggaran. Disparitas wilayah terlihat dengan baik. Sumatera dan Jawa terlihat lebih maju ketimbang Kalimantan dan lainnya. Kesalahan dalam agenda pembangunan selama ini baik di masa rejim Orde Baru hingga era Reformasi menemukan point penting: otonomi daerah yang diharapkan dapat menggalang partisipasi individu masyarakat dalam pembangunan ternyata tidak terlihat.

Aktivitas ekonomi masyarakat mencerminkan isi sesungguhnya dari mekanisme pasar. Dalam arti mekanisme pasar ini, secara umum dapat dikatakan harga ditentukan oleh adanya keseimbangan penawaran (supply) dan permintaaan (demand). Apabila supply tetap namun perminataan berubah, harga akan berubah. Atas kenyataan ini maka pemerintah bersama politikus semestinya perlu terlibat dalam mengatur perilaku publik ini serta menjaga agar tetap terlihat keseimbangan penawaran dengan permintaan. Sehingga kesejahteraan publik dapat diujudkan.25 Dalam artian ini maka seorang politikus mestinya dapat berperan dalam domain ini. Bagaimana ia mampu mencermati faktor-faktor apa yang dapat meningkatkan pendapatan regional itu secara keseluruhan.


21 Wilbert R. Shenk, The Transfiguration of Mission (Oregon: WIPF & STOCK, 1993), 21

22 Mark Labberton, Called (Surabaya: Literatur Perkantas Jatim, 2014), 24

23 Douglas Conant & Mette Norgaard, Touch Points (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2013), 63

24 John Stott, Isu-Isu Global, 51

25 Henry Faizal Noor, Ekonomi Publik Edisi 2 (Jakarta: Indeks, 2015), 32


Realitasnya tentu tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan. Indonesia tergolong sebagai negara sedang berkembang perlu bekerja keras agar dapat meningkatkan pendapatan per kapitanya. Intinya Indonesia dan terutama provinsi Kalimantan Barat membutuhkan pertumbuhan jangka panjang yang mantap. Ini bermakna, perlu pendekatan yang tepat mengantisipasi “guncangan” dan “stimulus.” Harvey Leibenstein dalam M.L. Jhingan menyebutkan, bahwa negara atau wilayah menjadi terbelakang karena jumlah stimulus terlalu kecil dan jumlah guncangan di dalamnya besar.26 Dari uraian pakar ini mensyaratkan perlunya suatu lembaga yang pas dan mengena agar perbaikan taraf hidup masyarakat banyak dapat diujudkan. Lembaga keuangan seperti perbankan, lembaga pemberian bantuan modal yang resmi baik itu Koperasi, LKM/Lembaga Keuangan Mikro dan sebagainya diharapkan kontribusi nyatanya kepada perubahan sosial ini. Demi memperkuat ketahanan masyarakat atas berbagai tekanan guncangan baik secara regional juga global.


Gereja dan Politik dalam Perspektif Teologis

Pokok kajian mengenai gereja dan politik dapat dilihat dari berbagai tinjauan ilmiah. Dalam khasanah ilmu yang berkenaan dengan masyarakat, salah seorang tokoh yang berpengaruh bernama Karl Mannheim telah menerbitkan buku yang berjudul Ideology and Utopia. Gambaran ringkas dari pemikiran beliau ini disekitar anggapan dasarnya, ideologi yang memiliki karakternya sendiri tidak hanya menelaah pemikiran lawan tetapi juga pemikirannya sendiri.

Diskursus tersebut memberikan sebuah peta jalan bagi sidang pembaca untuk melihat bahwa kehidupan politik tidak hanya disekitar bagaimana mendapatkan simpati masyarakat dan melihat masyarakat sebagai faktor yang menentukan. Lebih dari itu, kehidupan politik juga menyoroti isi dari ideasi manusia. Yakni pikiran-pikiran, wawasan kebangsaannya dan juga kalkulasi atau perhitungan terhadap berbagai resiko politik. Hal-hal ini dapat memberikan pengaruh kepada isi panggilannya jika ia belum mampu memelihara dan merawatnya agar tumbuh dan berkembang serta menghasilkan buah matang. Yakni kedewasaan moralitas dan karakter sebagai politikus rakyat.

John Stott menggarisbawahi, jika benar Allah sering kali bekerja melalui hal-hal yang tidak berarti dan yang kecil untuk mewujudkan kehendak-Nya, maka tidak ada dalih bagi orang kristen untuk merasa seperti orang asing. Sebaliknya: kita harus bersukacita karena tidak ada seorangpun yang begitu tidak berartinya untuk bisa dipakai oleh Allah dalam mengubah dunia.27

Gereja dipanggil untuk tugas pembebasan. Roh Allah yang menggerakkan gereja berbuat nyata dalam pemberitaan Injil dan tindakan kasih melalui perbuatan. Keseimbangan gereja terletak di dalam matra pemberitaan Injil kasih karunia dan tindakan pembebasannya. Agar masyarakat mengalami kasih sesungguhnya. Melalui layanan publik dan pilihan-pilihan bijak yang mengarah kepada terjadinya perubahan struktural. Penekanan ini mencerminkan bahwa panggilan gereja tidak dimanifestasikan di tengah-tengah kondisi ideal melainkan di tengah- tengah dunia nyata sebagaimana adanya. Labberton menyebutkan, kita terlibat langsung dengan





26 M.L. Jhingan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), 165

27 John Stott, Isu-Isu Global, 101


setiap masalah di lingkungan kita. Kita harus menghadapi kenyataan di mana kita hidup agar bertingkah laku dengan bijak dan setia.28

Konteks masyarakat dan struktur sosialnya mencerminkan adanya ketegangan dalam konteksnya yaitu berkenaan dengan harapan dan kebutuhan sosial mereka. Sementara mereka tidak memegang kekuasaan, partai politik dan pemerintah setempat dapat menggunakan kewenangan itu dan mengarahkan kekuasaan itu bagi terujudnya pembaharuan secara mendasar dalam tatanannya. Davidson menggambarkan 1 Samuel 16:13 sebagai panggilan kemesiasan. Kata yang dipakai “mengurapi” adalah kata mashiah.29 Dalam bahasa Inggris disebut: Messiah. Gereja sesungguhnya terpanggil untuk merestorasi masyarakat melalui hadirnya kuasa pengurapan di tengah masyarakat itu sehingga berlangsung perubahan sosial melalui lahirnya kesadaran manusianya tersebut. Maknanya secara politis dengan hadirnya perubahan sosial yang mengarah kepada pembentukan masyarakat lebih baik, dimana hak atas hidup, hak atas kebebasan, dan hak untuk mempunyai milik dapat dijamin.30

Lebih jauh Mannheim menyebutkan, seseorang yang terllibat dalam kehidupan politik praktis tidak kebal terhadap pengaruh-pengaruh ideologi saat itu dan ideologi itu tidak dapat dipisahkan dari konteks sosialnya. Karenanya, seseorang atau sekelompok kawanan yang ingin terlibat dalam kehidupan politik praktis akan berbeda kemampuannya untuk mengatasi posisinya yang sempit.31 Sebab mereka telah memasuki entitas yang berbeda dengan gambaran yang menyimpang dari kenyataan sosial yang ada.

Gereja dan pemerintah ketika berhadapan dengan dinamika politik pada tataran lokal, regional dan nasional hendaknya telah mempersiapkan diri untuk melihat bahwa ia harus mengarahkan perhatiannya kepada pembentukan kenyataan oleh masyarakat. Sebab persepsi masyarakat sangat berbeda dengan persepsi elit politik.


Hamba Tuhan dan Politik pada Pijakan Etika Pelayanan

Suatu nilai dikatakan berharga karena nilai tersebut hidup dan relevan sepanjang masa. Nilai tersebut dijiwai dan dihembusi oleh semangat penebusan (redemption). Kata penebusan ini disegregasi ke dalam kata: lutron, apulotrosis, agorazo, dan exagorazo.32 Kata-kata ini sesungguhnya bermakna memberikan dirinya agar orang lain hidup melalui kematian yang dialaminya. Jika dibawa ke dalam domain pembangunan politik humanitas maka hamba Tuhan mestinya bersedia membayar harga dengan memberikan jiwanya, hidupnya secara total kepada masyarakat. Allah menciptakan manusia merupakan suatu petualangan penuh resiko.






28 Mark Labberton, Called, 61

29 Robert Davidson, The Old Testament (London: Hodder and Stoughton, 1964), 217

30 Meminjam istilah filsuf Inggris John Locke, life – liberty and property. Lihat Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2015), 111

31 Peter L. Berger dan Thomas Luckman, Risalah Tentang Tafsir Sosial Atas Kenyataan (Jakarta: LP3ES, 2012), 14

32 George Eldon Ladd mengatakan, di dalam bahasa Yunani klasik maupun Helenistik kelompok kata

tersebut digunakan terhadap harga yang dibayarkan untuk menebus sesuatu yang tergadai, sejumlah uang yang dibayarkan untuk menebus tawanan perang, dan sejumlah uang yang dibayarkan untuk membeli kemerdekaan seorang budak atau hamba. Lihat: Teologi Perjanjian Baru 2 (Bandung: Kalam Hidup, 2002), 181


Menciptakan manusia berarti mengeluarkan cek blanko, di mana Allah merupakan satu-satunya jaminan.33

Prakarsa yang tumbuh dalam organisasi kemasyarakatan dapat menjadi inferior oleh karena menjadikan dirinya sebagai tuan. Hal itu tercermin dari menumpuknya berkas-berkas laporan, terbuangnya waktu dan terkurasnya dana organisasi. Tepatlah Sang Guru Terbesar, “Aku datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani dan memberikan nyawaKu bagi banyak orang.”

Disorientasi kalangan politikus kebanyakan telah meninggalkan asas tersebut. Lebih banyak ingin dilayanai melalui berbagai pelayanan fasilitas publik ketimbang memikirkan rakyatnya yang notabene merupakan lumbung suara bagi dirinya ketika pemilihan berlangsung. Pengabaian kebutuhan-kebutuhan mereka yang tidak mempunyai harta kekayaan dan tidak mampu memperoleh harta kekayaan serta tidak mampu mencukupi kebutuhan sendiri bukan dianggap olehnya sebagai politikus sebagai hal yang salah.34

Salah satu paparan ilmiah mengenai kecendrungan organisasi dalam skala pemerintahan nasional menjadi inferior disebutkan Riant Nugroho. Beliau menunjukkan sepanjang tahun 2000- 2001 kinerja Indonesia secara komparatif di wilayah Asia Tenggara posisinya paling belakang bahkan di tingkat Asia kalah dalam daya saing terhadap sesama negara berkembang.35 Secara teologis, realitas Indonesia menjadi tertinggal karena telah mengabaikan kehadiran Sang Khalik yang dikenal dengan nama Isa Almasih. Yang Kekal dan Hidup selama-lamanya. Banyaknya waktu bagi pemimpin dan masyarakat berkanjang kepada ilah lain. Baik melalui cara hidup, juga pola pikirnya.

Realitas kehadiran-Nya justru untuk menghardik pikiran manusia yang tumpul (eporothe

– 2 Kor. 3:14), dan menggantikannya dengan pikiran sehat (vs tidak sehat – dieptharmenon – 1 Tim. 6:5), serta mengusir pikiran manusia yang sia-sia (emaraiothesan), pikiran yang gelap (eskotisthe) dan bodoh (asunetos) seperti disebutkan dalam Roma 1:21.36 Kehadiran-Nya sebagai Mesias bagi bangsa Israel dan bangsa-bangsa lain akan menertibkan kemampuan berpikir itu, sebab kecendrungan hati manusia tanpa Yesus Kristus justru menindas kebenaran dengan kelaliman (Rm. 1:18).


Konteks Pengabdian dan Keterlibatan Secara Politik

Frans Boaz seperti dikutip Rommen dan Corwin mengatakan, budaya diberikan batasannya sebagai pola-pola kehidupan dimana komunitas – secara teratur mengatur perilaku dan kekayaan masyarakat dan juga akan pentingnya pengaturan sosial mereka. Inilah juga cerminan dari budaya setempat.37 Pola kehidupan suatu budaya lokal memuat keyakinan dasarnya, nilai-nilai dan gagasan-gagasan. Kesemuanya ini akan membawa pelaku budaya memiliki pengetahuan untuk kelangsungan hidupnya.



33 George Kirchberger, Memahami Iman dalam Dunia Sekuler. Teologi Edward Schillebeeckx (Maumere, NTT: Ledalero, 2014), 50

34 Sistem demokrasi liberal mencerminkan kenyataan tersebut. Virginia Held, Etika Moral (Jakarta: penerbit Erlangga, 1991), 76

35 Riant Nugroho, Public Policy (Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo, 2012), 99-100

36 John Piper, Think. The Life of the Mind and the Love of God (Bandung: Pionir Jaya, 2012), 72

37 Edward Rommen and Gary Corwin (ed), Missiology and the Social Science. Contributions, Causations and Conclusions (California: William Carey Library, 1996), 32


Robert Raines dikutip Trull dan Carter38 mengatakan, keberhasilan adalah target yang bergerak. Lebih lanjut ia mengatakan, target kita berubah karena usia, keadaan, pertumbuhan dan pengalaman. Pengalaman penulis yang berkecimpung sebagai anggota partai yang berjuang di ranah sosial terutama keberpihakan kepada mereka yang terabaikan menunjukkan perlunya Partai Politik dan para kader agar berbenah diri dan segera melakukan upaya strategis memberkati masyarakat dalam wilayah konstituennya. Melalui kreatifitas berpikir dan kedalaman rasa dalam mengkaji dan memutuskan berbagai kebijakan yang menjadi domai eksekutif sebelum dikeluarkan menjadi peraturan daerah.

Seperti kutipan berikut ini bersaksi: Democracy gives voice to “we the people”. We think it should include “all” the people. And we think it should provide a basis for “the people” thinking about the issues they decide. These two presumptions of democracy are often unstated. Our subject is how to achieve deliberative democracy: how to include everyone under conditions where they are effectively motivated to really think about the issues. This is the problem of how to fulfill two fundamental values—political equality and deliberation.39 Ruang publik yang terbuka dan difasilitasi oleh Partai Politik merupakan cermin bagi partai ini sedang berjuang untuk memaknai politik yang membebaskan. Isu-isu yang berkembang di ranah sosial disikapi melalui pemahaman politikus yang memadai dan terinspirasi melalui dasar hadirnya keseteraan secara politik dan hadirnya upaya pembebasan (deliberasi) di tengah masyarakat. Sebab setiap orang yang menentang (resistor) hanya bisa hidup dengan menyesuaikan.

Sebab dalam konteks global yang banyak mengandung ketidakpastian dan kejutan, komponen kapabilitas sebagai politikus akan bersinggungan dengan berbagai kebijakan pemerintahan setempat. Tentunya, ia sebagai wakil rakyat mesti berpegang kepada ketentuan: agar setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah akan menjadi relevan dan efektif untuk mencapai pembangunan jangka panjang demi kesejahteraan masyarakat.40 Ini merupakan pedoman baginya untuk bersikap kritis dan bersedia mengkritis berbagai kebijakan tersebut.

Kini Indonesia sudah memasuki era baru secara regional. Dikenal dengan MEA. Masyarakat Ekonomi Asean. Di mana arus perdagangan di antara negara-negara yang ada di kawasan ini semakin terbuka. Kendati Indonesia belum siap menghadapi pasar terbuka ini, mesti dihadapi juga. Indikator belum siapnya Indonesia terlihat dari: (1) Biaya produksi yang masih lebih mahal, (2) suku bunga kredit yang juga lebih tinggi di kisaran 12-13 % sementara negara Asean lainnya di level 6 %, (3) produktifitas yang rendah, (4) banyaknya pungutan yang tentunya memperlemah daya saing, (5) produk impor yang naik tajam juga mencerminkan kelemahan Indonesia.

Deskripsi kemampuan daya saing ini mencerminkan kondisi atau konteks riil yang ada dan menjadi realitas tantangan bagi politikus Kristen. Terutama terlihat di bidang ketenagakerjaan41 akan mengadapi tantangan serius di masa depan. Pemerintah bersama legislatif yang membidangi tenaga kerja memerlukan langkah strategis mempersiapkan sdm Indonesia


38 Joe E. Trull dan James E. Carter, Etika Pelayan Gereja (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2012), 158-159

39 Max Horkheimer & Theodor W Adorno, Dialektika Pencerahan (Yogyakarta: IRCiSoD, 2014), 228

40 Azhar Kasim, Martani Husein, Rozan Anwar & Neo Boon Siong, Merekonstruksi Indonesia: Sebuah Perjalanan Menuju Dynamic Governance (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2015), 34

41 Dalam ilmu ekonomi, tingkat upah di suau negara menjadi asumsi dasar melihat “tingkat kesejahteraan” dan “tingkat pembangunan” di negara tersebut. Lincolin Arsyad, Ekonomi Pembangunan Edisi 5 (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2015), 117


menghadapi pasar persaingan Asean ini. Konkritnya: perdagangan dan tenaga kerja menjadi isu sentral dalam konteks MEA. Perlunya mengoptimalkan fungsi pengawasan agar Indonesia tidak menjadi penonton di tanahnya sendiri. Seperti dikenali bahwa globalisasi mencerminkan kehadiran perusahaan-perusahaan kapitalis yang harus terus berekspansi atau mereka akan mati, dan ketika kemungkinan untuk memperoleh keuntungan besar dalam suatu negara menurun, maka bisnis kapitalistik ini dipaksa mencari keuntungan di negara-negara lain,42 hingga ke wilayah yang lebih terpencil dan kurang berkembang.


Kualitas Diri (Kesiapan & Representasi) sebagai Politikus

Hidup yang penuh makna adalah hidup yang memiliki tujuan. Templar sependapat dengan gagasan ini dan menambahkan, dengan memiliki tujuan, saya semakin mudah mewujudkan hal- hal indah dalam hidup saya.43 Visi pribadi adalah menghadirkan masa depan dengan jelas dan membawanya hadir di masa kini. Definisi kemajuan dimulai dari kejelasan dalam meraih masa mendatang. Conant dan Norggard mengatakan, mendapatkan kejelasan tentang apa yang penting telah mengubah seluruh permainan saya, menyebut sosok Mike seorang presiden penjualan nasional besar.44 Intinya mengamankan ruang mental untuk benar-benar siap dalam keterlibatan dengan orang lain, sehingga tidak semberono dalam berperilaku. Membawa perubahan sebagai alat misi personal agar rakyat mengalami kehidupan sejahtera. Tentunya menghendaki berbagai kualifikasi.

Karakteristik pribadi umumnya sebagai berikut: (1) Pemaknaan atas kekuasaan dan kendali atas kehidupan seseorang sendiri memungkinkan sebagai pemimpin berbagi kekuasaan dan pengaruh dengan orang lain, (2) keyakinan diri untuk bertindak akan memungkinkan sebagai pemimpin menggunakan perilaku-perilaku utama, (3) kemampuan kognitif diperlukan dalam memahami hubungan sebab-akibat yang kompleks dan menggunakannya dalam merencanakan pelbagai tujuan yang diharapkan.45 Kesiapan diri bersentuhan dengan respons terhadap orang lain dan lingkungan dan membentuk perilakunya sebagai politikus.

Inilah yang amat ditekankan oleh F.A. Hayek, pentingnya proses seleksi yang berperan dalam evolusi masyarakat, memilah aturan-aturan moral kita yang dapat menghancurkan masyarakat dan melestarikan aturan-aturan yang mendukung kelangsungan atau kegigihan kita.46 Gagasan Hayek ini dimaknai sebagai pembaruan aturan yang mengokohkan eksistensi kelembagaan partai dan kaitannya dengan visi mensejahterakan rakyat.

Dalam konteks terkini, Dessler menyebutkan, kapasitas individu sebagai pemimpin yang berkualitas mencakup kepada dirinya merupakan hasil seleksi yang diprediksi berhasil karena memiliki adaptasi dan fleksibilitas dalam suasana kerja baru, kekokohan budaya, orientasi pribadi, pengetahuan dan motivasi kerja, ketrampilan relasional, keterbukaan antar budaya, dan situasi keluarganya.47 Pemikiran ini merupakan hasil pengalaman berkaca dari banyak pemimpin yang berhasil. Kompetensi, sikap perilaku dan keteladanan diri merupakan faktor-faktor



42 George Ritzer, The Globalization of Nothing (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2006), 107

43 Richard Templar, The Rules of Life (Jakarta: Penerbit Erlangga Group, 2008), 48

44 Douglas Conant dan Mette Norggard, Touch Points (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2013), 36

45 Marshall Sashkin & Molly G. Sashkin, Prinsip-Prinsip Kepemimpinan (Jakarta: Erlangga, 2011), 112

46 Eugene F. Miller, Kondisi Kebebasan. Liberalisme Klasik F.A. Hayek (Jakarta: Freedom Institute & Fur Die Freiheit, 2012), 48

47 Gary Dessler, Manajemen Sumber Daya Manusia Jilid 2 (Jakarta: Penerbit INDEKS, 2009), 350


berpengaruh yang menuntun kepada keberhasilan. Agar terhindar dari apa yang dikenal gap cukup lebar antara ideal-normatif dengan kenyataan yang terjadi. Dalam analisis Robert Endi Djaweng, desentralisasi yang dikenal dengan Otonomi Daerah justru membawa gerak otonomi ke arah yang tidak jelas dan disamping itu tanpa mendudukkan relasinya dengan masyarakat dan pelaku usaha yang memberikan pengaruh kuat dalam dinamika politik lokal.48 Diperlukan sosok pemimpin yang mampu mengintegrasikan berbagai peran dan gagasan lokal menjadi rumusan kebijakan yang menentukan irama pembangunan berkelanjutan dan tentunya berpihak kepada rakyat.


Etika Politik Pendeta Dalam Politik Praktis

Politik sering diartikan sebuah permainan untuk mencapai suatu tujuan, karena istilah itulah sering dianggap politik itu tidak baik bagi seorang Pendeta. Padahal untuk meraih suatu jabatan yang memegang kekuasaan dimana kekuasaan memiliki peran penting untuk mengatur kesejahtraan masyarakat dimana jemaat yang dilayani ada didalamnya. Penerapan kekuasaan yang dijalani oleh pemegang kekuasaan tidak jauh dari latar belakang hidup dan orientasi hidupnya. Apabila latar belakang preman maka cara kerja dan orientasi penerapan kekuasaannya kepada hal-hal yang ada hubungannya dengan preman.

Pendeta tentu rata-rata memiliki orientasi yang jelas dimana selalu berdoa dan berupaya agar Jemaatnya hidup dalam kesejahtraan. Jangankan sudah mempunyai jabatan strategis, ketika melaksanakan tugas kependetaannya ia berusaha berjuang membantu umatnya dalam mengatasi berbagai persoalan Jemaatnya. Apalagi sudah memiliki jabatan strategis di politik praktis.

Seorang pendeta agar dapat menjalankan tugas dan pelayanannya ia sering harus berhadapan dengan dunia politik, dimana pendeta harus berjuang untuk memenuhi pergumulan jemaatnya, maka seorang pendeta yang memiliki jabatan didunia politik praktis maka ia memiliki orientasi yang jelas dalam penerapan kekuasaannya.

Etika politik yang dijalankan seorang pendeta diakui harus ekstra hati-hati agar dapat berdiri tetap sebagai seorang Pendeta, karena didalam dunia politik praktis memang kita benar- benar menerjungkan diri didunia, yang didalamnya banyak permainan. Seorang pendeta harus pandai memainkan politik tetapi juga jangan lupa identitas diri kita. Penulis sendiri pernah hampir terjerumus disaat pemilihan salah satu pemimpin, ketika penulis sadar penulis segera memperbaiki, biasa ada seorang calon tertentu meminta dukungan dalam suatu pemilihan, lalu ada yang jawab siap dukung, padahal setelah pemilihan dia tidak dukung. Harusnya bahasa yag arif kalau ada yang minta dukung padahal hati kita tidak setuju dengan dia, cukup katakan “saya masih berdoa” agar ketika kita tidak memilihnya ia tidak menganggap kita bohong. Seorang pendeta harus ingat Firman Tuhan berkata dalam sepuluh hukum Allah Jangan berdusta, hendaklah ya katakan ya atau tidak katakan tidak, jangan sampai lain dibibir lain dihati.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keterlibatan hamba Tuhan dalam politik seyogianya tidak dilihat hitam atau putih dengan kata lain boleh atau tidak terlibat sama sekali. Dari temuan ini dapat diperkirakan perlunya hamba Tuhan memasuki dunia politik dan hal itu menjadi penting untuk keterlibatannya lebih disebabkan oleh karena kemampuannya dalam meraih tujuan yaitu bagaimana ia dengan sekuat tenaga mampu menerjemahkan aspirasi


48 Robert Endi Djaweng, „Desentralisasi di Indonesia: Sketsa Masalah pada Sejumlah Elemen Kunci” dalam Analisis CSIS. Vol. 44 N0. 1 Kuartal Pertama 2015 (Jakarta: CSIS), 47


konstituennya. Dengan berpihak kepada masyarakat dan bekerja keras, ia mampu menerjemahkan berbagai kebijakan yang ada agar tidak mengorbankan masyarakat melainkan membela mereka agar kehidupan mereka lebih baik.

Dari hasil penelitian ini, sumbangsihnya mengenai keterlibatan hamba Tuhan dalam politik menjadi krusial dan penting bila dimaknai sebagai representasi dirinya sebagai wakil Tuhan sekaligus wakil rakyat yang mengemban misi dan visi yang pro kepada perubahan dan perbaikan struktur sosial masyarakat. Melalui pendekatan legislasi, ia mengupayakan kesejahteraan rakyat dengan bekerjasama melalui sinergi. Antara anggota dewan dengan pemerintah.


KESIMPULAN

Urgensi keterlibatan pendeta dalam politik yang dapat diartikan bahwa makin kuat kesiapan dan representasi dirinya maka akan semakin tinggi upayanya sebagai pendeta yang berperan penting di dunia politik, sebaliknya semakin lemah atau rendah kesiapan dan representasi dirinya maka akan semakin lemah pula dalam keterlibatan sebagai politikus. Oleh karena itu, pemahaman akan konteks pengabdian dengan urgensi keterlibatan pendeta dalam politik yang dapat diartikan bahwa semakin tinggi pemahamannya mengenai konteks pengabdian di politik maka akan semakin tinggi upayanya sebagai politikus, sebaliknya semakin lemah atau rendah pemahamannya akan konteks pengabdian di dunia politik, maka akan semakin lemah/ rendah pula upayanya terlibat di politik.



DAFTAR PUSTAKA

Agung, Mian Nugroho dan Lempas, Jeffrie A.A. (Editors). Yesus dan Politik. Jakarta:Komunitas NISITA, 2004.

Arsyad, Lincolin. Ekonomi Pembangunan Edisi 5. Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2015. Berger, Peter L. dan Luckman, Thomas. Risalah Tentang Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Jakarta:

LP3ES, 2012.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2015. Busthan, Paskalinus. Teologi Kontekstual Asia. Pontianak: STT Pontianak, 2016.

Conant, Douglas & Norgaard, Mette. Touch Points. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2013. Davidson, Robert. The Old Testament. London: Hodder and Stoughton, 1964.

Dessler, Gary. Manajemen Sumber Daya Manusia Jilid 2. Jakarta: Penerbit INDEKS, 2009. Harefa, Yulius Enisman. Studi Analisis Alkitab dalam Menyikapi Biblical Cristicism, Jurnal

BMW-GO; Vol. 2, No. 1, Juli-Desember 2017: 3; ISSN 2579-5678. Bandingkan Tolop Oloan Marbun, Theology As Science; Jurnal Luxnos Volume 3, Nomor 2, Edisi Agustus- Desember 2017:212; ISSN: 2527-7561

Held, Virginia. Etika Moral. Jakarta: penerbit Erlangga, 1991.

Horkheimer, Max & Adorno, Theodor W. Dialektika Pencerahan. Yogyakarta: IRCiSoD, 2014. Hutagalung, Patrecia. “Pemuridan Sebagai Mandat Misi Menurut Matius 28:18-20,” Pengarah:

Jurnal Teologi Kristen ISSN 2655-2019 (online) Volume 2, Nomor 1, Februari 2020 ISSN 2654-931X (cetak)

Ihsan, A. Bakir. Etika dan Logika Berpolitik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009.

Jhingan, M.L. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014.

Kasim, Azhar, Husein, Martani, Anwar, Rozan & Siong, Neo Boon. Merekonstruksi Indonesia: Sebuah Perjalanan Menuju Dynamic Governance. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2015.


Kinchelo, Joe L. Guru Sebagai Peneliti. Yogyakarta: IRCiSoD, 2014.

Kirchberger, George. Memahami Iman dalam Dunia Sekuler. Teologi Edward Schillebeeckx.

Maumere, NTT: Ledalero, 2014.

Labberton, Mark. Called. Surabaya: Literatur Perkantas Jatim, 2014.

Mau, Marthen. 2020. “Implikasi Teologis Berita Pertobatan Yoel dalam Yoel 2:12-17”; MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen, Vol 1, No 2 (Juni 2020):98-111; e-ISSN 2716-0556; p-ISSN 2502-2156; http://sttikat.ac.id/e- journal/index.php/magnumopus

Miller, Eugene F. Kondisi Kebebasan. Liberalisme Klasik F.A. Hayek. Jakarta: Freedom Institute & Fur Die Freiheit, 2012.

Noor, Henry Faizal. Ekonomi Publik Edisi 2. Jakarta: Indeks, 2015.

Noveria, Mita (ed). Pertumbuhan Penduduk dan Kesejahteraan. Jakarta: LIPI Press, 2011. Nugroho, Riant. Public Policy. Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo, 2012.

Piper, John. Think. The Life of the Mind and the Love of God. Bandung: Pionir Jaya, 2012. Poespowardojo, T.M. Soerjanto & Seran, Alexander. Filsafat Ilmu Pengetahuan.

Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2015.

Ritzer, George. The Globalization of Nothing. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2006.

Robert Endi Djaweng, „Desentralisasi di Indonesia: Sketsa Masalah pada Sejumlah Elemen Kunci” dalam CSIS, Analisis. 2015. Vol. 44 N0. 1 Kuartal Pertama. Jakarta: CSIS.

Rommen, Edward and Corwin, Gary (ed). Missiology and the Social Science. Contributions, Causations and Conclusions. California: William Carey Library, 1996.

Sashkin, Marshall & Sashkin, Molly G. Prinsip-Prinsip Kepemimpinan. Jakarta: Erlangga. 2011. Shenk, Wilbert R. The Transfiguration of Mission. Oregon: WIPF & STOCK, 1993.

Simon, Tanggapan Alkitab Terhadap Wacana Hukuman Mati Bagi Pelaku Korupsi, KENOSIS Vol. 6 No. 1. Juni 2020

Smith, James Bryan. The Good and Beautiful Community. Surabaya: Literatur Perkantas JaTim, 2014.

Stott, John. Isu-isu Global. Jakarta: YKBK/OMF, 2015.

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo, 2007.

Templar, Richard. The Rules of Life. Jakarta: Penerbit Erlangga Group, 2008.

Tissen, Rene, Andriessen, Daniel & Deprez, Frank Lekanne. The Knowledge Dividend. London: Prentice Hall, 2000.

Trull, Joe E. dan Carter, James E. Etika Pelayan Gereja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2012. Ule, Silvester. Melakukan Teologi Di Abad Plural. Maumere-NTT: Penerbit Leda



https://www.g21.binsarhutabarat.com/2021/03/keterlibatan-pendeta-dalam-politik.html


No comments:

Post a Comment